Kenyataannya, entah dari mana datangnya, bagaimana asal usulnya sehingga fenomena thrifting bisa muncul di tengah-tengah dunia fesyen seolah menjawab apa yang diinginkan oleh konsumen. Thrifting kemudian langsung menjadi daya tarik tersendiri bagi pecinta fesyen dan menjadi hal yang paling diburu oleh masyarakat terutama kalangan anak muda.
Hal ini ikut diamini oleh Febriyanti Pasaribu (28), seorang karyawan swasta yang bekerja di kawasan Cawang UKI, Jakarta Timur. Menurutnya memenuhi kebutuhan fesyen, berarti salah satunya wajib melalui jalur thrifting. “Aku kalau belanja barang-barang fesyen kayak baju dan sepatu gitu pasti nge-thrift terus,” ujar Febriyanti di Jakarta.
Lantas pertanyannya adalah apa itu thrifting, bagaimana cara mengikutinya dan kenapa ia mampu menyedot minat masyarakat dengan begitu kuatnya.
Pada dasarnya, thrifting sendiri pada pengertiannya merupakan sebuah kegiatan mendapatkan barang-barang fesyen melalui proses jual beli barang-barang bekas dan kebanyakan impor. Thrifting berasal dari Bahasa Inggris yang berarti penghematan. Hal ini tentu sejalan dengan keinginan konsumen dalam mendapatkan barang berkualitas dengan harga murah.
Gaya hidup thrifting sendiri diketahui sudah mulai berkembang mulai tahun 1800 hingga 1900-an. Awalnya penggalangan dana menjadi cikal bakal awal munculnya istilah thrifting. Di mana penggalang dana saat itu dilakukan dengan kegiatan mengumpulkan barang-barang dari donator untuk dapat dijual kembali. Seiring perkembanganya, kegiatan thrifting kemudian berkembang menjadi barang bekas impor.
Dengan perkembangan yang sangat cepat, fenomena thrifting atau membeli barang bekas kian popular tidak hanya di Indonesia tetapi juga penjuru dunia. Ada banyak alasan kenapa kegiatan thrifting ini begitu diminati seperti jumlahnya yang terbatas sehingga kecil kemungkinan barang yang sama bisa dimiliki oleh banyak orang.