Alih-alih menjadi gerakan ramah lingkungan, justrumalah berpotensi menambah jumlah sampai pakaian dan aksesoris fesyen lain di tanah air. Oleh sebab itu, alangkah baiknya jika memang tujuannya mengurangi sampai lingkungan untuk memprioritaskan barang produk lokal menuju fesyen berkelanjutan.
Sisi lain juga kegiatan thrifting dikhawatirkan mebawa pengaruh negatif pada perkembangan perekonomian negara. Salah satunya ialah kecilnya minat masyarakat terhadap barang lokal dan lebih memilih produk ‘buangan’ negara lain. Secara tidak langsung dengan tidak banyaknya permintaan barang baru mempengaruhi rendahnya produktivitas produksi barang-barang fesyen buatan lokal. Bahkan, dalam jangka panjang tidak menutup kemungkinan bisa menurunkan pertumbuhan indutri pakaian dan aksesoris fesyen dalam negeri lainnya.
Di lain sisi, kegiatan thrifting ini juga dengan jelas telah disampaikan pemerintahh melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang tertuang dalam peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 18 tahun 2021 Tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.
Dalam pasal 2 Ayat 3 Disebutkan apa saja barang-barang yang dilarang impor ke Indonesia, di antaranya ialah karung bekas, kantong bekas termasuk juga pakaian bekas yang justru malah menjadi barang thrifting yang paling banyak dicari di Indonesia.
Meski sudah dengan jelas dilarang, aktiviats jual beli barang thrifting juga terus saja berjalan. Entah bagaimana ini bisa terus berlanjut, apakah tingginya minat konsumen masyarakat akan barang thrifting import, pedagang yang nakal atau memang lemahnya pengawasan dari pemerintah itu sendiri.
Bagaimanapun Toni (55), salah satu pedagang yang berjualan barang thrifting di Pasar Senen Jakarta Pusat mengaku pendapatannya selama lebih dari 15 tahun ini ialah dari hasil menjual barang-barang
“Saya sudah lama, sejak sebelum pasar terbakar dan dibangun lagi seperti sekarang. Saya dan keluarga mencari nafkah dengan mengandalkan jualan di sini,” katanya.
Toni mengaku mengaku mengetahui terkait larangan tersebut bahkan ia juga sempat mendengar issu pelarangan perdagangan baju trifting di area Pasar Senen. Namun, ia cukup lega karena masih bisa terus menjalankan usahanya tersebut. “Sempet khawatir bagaimana kalau beneran ditutup, saya dan teman-teman pedagang lain setidaknya diberikan solusi tidak tiba-tiba ditutup begitu saja,” ceritanya.
Namun jika ditarik jauh ke belakang, memang fenomena thrifting bukan hal yang baru terjadi tapi sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu. Sehingga ada baiknya pemerintah bisa memberikan dukungan dan pengawasan tanpa merugikan satu pihak dan tetap bisa memfasilitasi kebutuhan konsumen akan pemenuhan kebutuhan aksesoris fesyen yang berkualitas dengan harga yang terjangkau.
Dalam hal ini, pemerintah bisa saja bekerja sama dengan para pelaku industri untuk membuat produ fesyen yang mampu mengikuti tren dengan mode kekinian. Selain itu mengupayakan tren fesyen berkelanjutan dengan memanfaatkkan barang-barang yang masih layak pakai untuk dikategorikan menjadi barang thrifting. Sehingga bisa menghilangkan adanya barang thrifting yang diimpor dari luar negeri.
Hal ini mengingat, saat ini konsumen tidak terlalu mementingkan merek yang awalnya menjadi patokan utama dalam memilih pakaian dan aksesoris fesyen lain. Namun kini, rata-rata calon pembeli lebih memperhatikan kualitas dari barang tersebut. Hanya saja yang tidak berubah adalah bagaimana bisa mendapatkan barang berkualitas baik dengan harga yang sangat miring alias murah.
Perubahan prilaku ini bisa menjadi landasan bagi pemerintah dan pelaku usaha untuk bisa memanfaatkan hal ini dan meningkatkan produk lokal sendiri.